Rabu, 20 Oktober 2010

Berjihad Dalam Kemakrifatan

Setiap orang yang menempuh perjalanan rohani, akan mendapatkan banyak halangan yang biasanya akan mengakibatkan kejenuhan bahkan merasa putus asa. Hal ini biasanya terjadi karena pada saat pertama kali bertemu dengan Allah melalui proses pengangkatan oleh Guru Mursyidnya, mereka tidak mendapatkan pengalaman Rohani yang maksimal. Atau dengan kata lain, mereka dalam pengalaman mi’raj-mi’rajnya tidak menemukan apa-apa dari penyaksiannya. Sehingga dari pengalamannya itu, mereka tidak memberikan penghargaan yang pantas kepada Allah. Akibatnya, mereka dalam melaksanakan perjalanan mi’rajnya hanyalah bersifat ritual semata, tanpa diimbangi dengan perasaan, penghayatan, perenungan dan kotemplasi terhadap pengalaman pribadinya. Hal ini telah diinformasikan oleh Allah dalam Al Qur’an yaitu :

“Dan mereka tak menghargai Allah dengan penghargaan yang pantas diberikan kepada-Nya, tatkala mereka berkata : Allah tidak menurunkan apa-apa kepada manusia . Katakan : Siapakah yang menurunkan Kitab yang dibawa oleh Musa, yaitu NUR dan PETUNJUK bagi manusia, yang kamu buat menjadi lembaran-lembaran (yang berhamburan), yang kamu perlihatkan dan yang kebanyakan kamu sembunyikan? Dan kamu diajarkan tentang apa yang kamu dan orang tua kamu tidak tahu . Katakanlah : Allah. Lalu biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya”. (QS Al An’am 6 : 91)

Ayat tersebut diatas menjelaskan tentang mereka yang baru menempuh jalan rohani (baru melalui prosesi pengangkatan yang pertama kalinya) namun tidak mendapatkan pengalaman penyaksian yang maksimal. Maka mereka berkata : “ Allah tidak menurunkan apa-apa kepada manusia “. Mereka mengatakan yang demikian bukan karena Allah tidak menurunkan apa-apa tetapi karena mereka belum menemukan “rasa pertemuan” dengan Dzat Yang Maha Suci, Allah SWT.

Mereka pantas berkata demikian, tetapi “ Dirinya yang paling dalam berujar “ : Siapakah yang menurunkan Kitab yang dibawa oleh Musa ( Guru Musryid yang mengantarkan dirinya kepada Pencerahan – Pengangkatan ) yaitu NUR dan PETUNJUK bagi manusia, yang kamu buat menjadi lembaran-lembaran?. Karena pengalaman mi’raj itu sulit untuk diungkapkan, maka dibuatlah oleh mereka (para kaum ma’rifatullah) dalam bentuk ungkapan-ungkapan tertulis berupa syair-syair, puisi-puisi, atau kisah-kisah dan yang kebanyakan kamu sembunyikan ( dibuat dalam bentuk perumpamaan ayat-ayat mutasyabihat ). Dan kamu diajarkan tentang apa yang kamu dan orang tua kamu tidak tahu. Dengan NUR ( Nurul Iman ) itu mereka memperoleh petunjuk untuk membimbing dirinya dalam menghadapi berbagai permasalahan kehidupan ini.

Katakanlah : “Allah” Dialah yang menurunkan kepahaman itu kepada mereka. Dengan kepahaman itu mereka merasa “plong” menghadapi permasalahan yang berat sekalipun. Mereka mengetahui cara mensikapi permasalahan dengan sewajarnya. Lalu biarkanlah mereka yang ragu-ragu tentang apa yang sudah diturunkan oleh Allah kepada dirinya dalam kesesatan. Bagi mereka yang telah memperoleh Cahaya Keimanan, hendaknya tidak terlalu risau dengan kegelisahan saudara-saudara seimannya yang masih menggerutu denagn pengalamannya, karena mereka belum menemukan keindahan dan keyakinan yang mantap dari mi’raj-mi’rajnya.

Memang sangat banyak faktor yang dapat menghambat evolusi jiwa/ruhani kita dalam pencapaian tingkat yang lebih sempurna. Agar di dalam menghadap menuju Sang Sumber penuh dengan kepasrahan untuk menyatu ke dalam relung-relung keabadian. Faktor penghambat itu antara lain adalah gambaran, khayalan, lamunan atau anggapan-anggapan yang merintangi dan menghalangi atau mengganggu diri kita dalam mencapai derajat tinggi disisiNya. Haruslah segala ringtangan itu dibuang jauh-jauh, harus disingkirkan. Segala emosi yang melekat pada diri kita disaat berinteraksi dengan keduniaan, hapuslah semuanya. Supaya jiwa kita dan semangat kita berkembang dengan teguh serta bebas sehingga dapat memantapkan kepercayaan kepada diri pribadi kita sebagaimana yang telah kita saksikan di alam Cahaya Ilahi.

Adapun yang sering menimbulkan halangan itu adalah berasal dari diri sendiri, yaitu perasaan kita yang sering merasa kecewa, marah, ragu, merasa rendah, dhaif, merasa bodoh, bimbang, khawatir, suka, duka dan gembira yang selalu mudah untuk dikuasai oleh emosi kita.

Hal ini merintangi diri kita dalam penyaksian terhadap Nur Ilahi yang sangat jauh dari cacat dan kekurangan sedikitpun. Buanglah jauh-jauh pikiran yang menganggap remeh apa yang telah kita saksikan, memang setiap individu berbeda-beda kadar penyaksiannya, tetapi bagi kita yang belum mencapai tingkat penyaksian yang sempurna atau sedikitnya tawhid (menyatu) terhadap Cahaya yang kita saksikan untuk memasuki lorong Nurun Ala Nurin dalam gilang-gemilang kemegahan CahayaNya, jangan lantas berpikir Cahaya yang ada di dalam diri kita itu kalah dengan Cahaya yang ada di luar. Itu adalah suatu hal yang amat buruk dan keburukannya (akibatnya) akan menimpa dirinya sendiri.

Berusahalah dengan kesungguhan yang mantap memperkuat karep (tekad) kita dalam mengikuti kehendak Tuhan, dengan tuntunan kitab yang ada dalam diri pribadi kita masing-masing. Muliakanlah, Agungkanlah, sanjunglah dan hormatilah sebagai barang yang amat berharga yang ada pada diri pribadi kita. Tebalkanlah keyakinan kita dan sentausakanlah Iman kita serta pergunakan kejujuran hati kita untuk menghindari perbuatan yang sesat yaitu : kebohongan. Usahakanlah agar kita selalu ingat dan waspada, bijaksana dan selalu berbuat kebajikan. Perhatikan hasil dan keuntungan yang keluar dari prosesnya pikiran pribadi yang baik, disertai dengan laku yang benar. Berdasarkan pada kesopanan dan kesantunan serta kejujuran, menggunakan pikiran yang tajam, jernih dan merdeka.

Singkirkanlah sifat-sifat yang buruk, yaitu menuruti hawa nafsu yang rendah dan juga hilangkanlah sifat-sifat yang mementingkan diri sendiri serta pandangan yang keliru dan picik. Bertindaklah untuk mengikuti jalan utama. Sempurnakanlah dalam memelihara keimanan yang teguh untuk mendekati dan memegang kesempurnaannya. Agar nanti kita tidak akan kekurangan penerangan dalam perjalanan menuju ketentraman dimana kita akan menerima warisan keberkahan yang abadi.

Maka tiada lain bagi kita yang masih baru dalam mengenal dan berusaha akrab dengan diri pribadi kita, haruslah melatih diri dengan pekerti luhur, memberi dorongan kepada tujuan yang semestinya.Beruzlah atau tafakur untuk berusaha membuang (melepaskan) beban sampah dikepala. berkonsentrasi, kemudian mencurahkan segenap cipta ke arah sasaran yang sering kita sebut Wujud Yang Absolut, sebagaimana kita semua saksikan. Hendaklah hal demikian (tafakur) itu dilakukan dengan rutin dan dengan penuh kesungguhan dalam melewati fase-fase untuk mencapai tafakur sempurna yang penuh dengan kenikmatan. Karena telah mampu mengalahkan diri sendiri dari tabiat-tabiatnya kearah negatif (Nafsu rendah) dan membawa ke dalam pimpinan yang telah disinari Nur Muhammad. Sebagaimana yang diterangkan dalam Al Qur’an, bahwa dalam diri setiap manusia ada Nur Muhammad yang harus dijadikan panutan.

“Ketahuilah bahwa pada engkau ada Rasul Allah, Dia dalam banyak urusan selalu mengikuti engkau, tetapi jika engkau tidak mengikuti dia tentulah engkau akan mendapat kesusahan, maka Allah menjadikan engkau Cinta kepada keimanan dan menjadikan Iman suatu hiasan dalam hatimu, dan menjadikan engkau benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Yang demikian itulah orang-orang yang mengikuti Jalan lurus.” (QS. Al Hujarat , 49 ayat 7 )

“Maka berimanlah engkau kepada Allah dan Rasulnya yaitu CAHAYA yang telah kami turunkan, dan Allah maha mengetahui apa yang engkau kerjakan.” (QS. At Taqhabun, 64 ayat 8)

“Orang-orang yang beriman itu hatinya menjadi tentram/senang dikarenakan senantiasa ingat kepada Allah. Ketahuilah, karena selalu ingat kepada Allah, manusia itu pada merasa senang.” (QS. Ar Raad, 13 ayat 28)

Untuk itulah, bagi para penempuh jalan spiritual harus terus-menerus istiqomah memperbaiki diri, meningkatkan kadar pencerahan ruhani kita agar evolusi ruhani kita semakin maju ketingkat/maqam yang lebih baik, dari hari kehari. Sehingga kita tidak mengalami stagnasi/berhenti ditempat atau bahkan mundur dan melupakan amanat yang telah diberikan, yaitu Cahaya yang ada pada diri kita masing-masing.


Ada beberapa cara agar kita terhindar dari stagnasi perkembangan evolusi rohani kita :

a) Kita harus meneliti persiapan saat akan melakukan Mi’raj. Persiapan ini dilakukan mulai seharian. Dimulai dari persiapan puasa khusus, perut di isi 1/3 udara, 1/3 makanan dan 1/3 minuman (Teori Al-Faqir). Kemudian cara tidur dan kegiatan sehari-hari kita yang telah bersesuaian dengan sunatullah. Pada saat akan melaksanakan Mi’raj, kita harus memperhatikan, apakah cara duduk kita, cara memusatkan perhatian atau mengkonsentarasikan pikiran, cara menarik nafas, cara bermi'raj dan cara membuka mata batin kita (memfokuskan mata hati-Tawajuh) atau tauhid Syuhudi. Paling tidak persiapan ini mestinya banyak dilatih dengan tekun dan sabar sebelum melakukan Mi’raj sampai mencapai evolusi ruhani yang stabil / sempurna (Minimal 40 hari berturut-turut secara Istiqomah). Jika belum banyak dilakukan penelitian ke dalam diri, bisa berdiskusi dengan saudara seiman yang sudah tahu. Atau sebelum Mi’raj banyak-banyaklah melakukan penyucian batin sebagai pembersihan dengan membaca Istigfar (gunakan bahasa yang lembut-bahasa Jiwa) sampai pada kondisi jiwa masuk dalam getaran mutmainah (tenang) yang ditandai kekacauan pikiran telah dikendalikan dan mulai dapat berkonsentrasi dengan baik.

b) Jika kondisi Mutmainah telah kita masuki maka secara perlahan-lahan kita mengkonsentarsikan diri. Dalam tahap ini titik-titik rawan yang mungkin muncul adalah cara memfokuskan kepada Cahaya yang kita saksikan masih sering terabaikan. Titik sasaran yang benar adalah berada di “tengah-tengah” (sebaik-baik urusan berada ditengah / tawazun). Bukan dikiri, dikanan, diatas, atau dibawah. Hal ini terjadi karena kurang menekan pandangan lahir atau batin kearah titik konsentarsi.


c) Titik rawan berikutnya setelah Cahaya terfokus adalah kurang menguatkan “pelengan” atau memandang mata batin dengan nanar karena barang kali sudah merasa puas. Perasaan cepat puas dan cepat selesai kurang kondusif untuk cepatnya evolusi ruhani. Sebaliknya perasaan haus ruhani akan semakin menguatkan tekad atau karep (Iradat) kita untuk terus berdisiplin diri dalam kondisi tafakur/Mi’raj yang panjang atau lama. Mungkin juga yang dahalunya banyak “tanaman” atau Implan berupa susuk dan sebagainya yang dimasukan dari luar tubuh ke dalam dirinya, hal ini tidak akan cukup lama/kuat dalam bermi’raj. Hal ini diibaratkan bagaikan air dengan minyak (air = Ruhani, minyak = hawa nafsu / kegelapan) yang kadang kalau ditepuk sejenak (dengan pancaran Cahaya Ilahi) akan berpencar dan kemudian kembali seperti semula. Minyak menutupi air. Sehingga ingin cepat-cepat selesai dan merasa panas dalam menyambut / menerima pancaran Cahaya tadi. Jika hal ini terjadi, kuatkan tekat dan tekun dalam beruzlah karena sesuatu yang mendarah daging akan terkikis habis dengan pola Mi’raj secara intens dan intensif. Jika malas justeru mengembalikan kondisi ruhani masuk dalam perangkap gelap (kufur). Hal ini dapat menghijab diri kita dari pandangan / Cahaya Allah SWT.

d) Titik rawan selanjutnya saat fase Tauhid Syuhudi (Penyaksian keindahan Cahaya Ilahi) atau fase penemuan Cahaya Ilahi. Cahaya pada saat penyaksian (syahadat Tauhid dan Rasul) terkadang memiliki pola-pola yang berbeda-beda (Addien sesuai ukuran kemampuan hambanya). Al Ghazali menamakan sesuai Al Qur’an dalam bukunya Miskat Al Anwar (Cahaya yang berlapis-lapis). Untuk menempatkan Cahaya Ilahi pada pandangan yang tepat, haruslah menemukan inti pancaran Cahaya Ilahi. Inti itu adalah berupa Mutiara Mutu Manikam yang berada tepat ditengah atau berada di dalam Cahaya tersebut (kilauannya paling memancar, berkilau tanpa warna), inilah yang disebut Maqam ISTIQOMAH. Pola ini sering terabaikan oleh si penerima. Karenanya tidak sedikit diantara saudara seiman jika baru beroleh Cahaya tadi, akhirnya merasa bangga yang terkesan berlebihan. Padahal ini baru seseorang memulai beragama dihadapan Allah SWT (Awaluddinni Ma’rifatullah). Jika kondisi ini tidak pernah dicatat pola-pola perubahannya, diteliti dan disadari maka akan terjadi keangkuhan Pribadi (Kesombongan Ruhani) yang sering menutupi kebenaran yang disampaikan oleh saudara seiman.

Mungkin secara garis besar titik-titik rawan itulah yang menyebabkan kegelapan ruhani walaupun masih banyak kendala yang harus diperhatikan dalam menyikapi hal-hal yang dapat menghambat pencerahan. Tetapi dengan modal yang sedikit ini kiranya dapat dijadikan bahan pertimbangan, pemikiran, serta perenungan agar kita selalu Eling (ingat), Sabar dan Waspada terhadap segala sesuatu yang dapat mempengaruhi kedekatan kita pada Allah SWT.


“ Wahai manusia ! Sesungguhnya kamu harus berusaha dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk bertemu dengan Tuhanmu, sampai kamu bertemu dengan-Nya “. ( QS Al Insyqoq 84 : 6 )

“ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Dienullah…..”. (QS Ar-Rum 30 : 30)


MENUJU GEMILANG CAHAYA ILAHI

Bukan mudah meniti langkah ke Angkasa
Bukan mudah mengubah mimpi menjadi asa pasti
Apapun jua bisa terbukti
Andai langkahmu tidak terhenti

Bukan mudah menggapai Bintang Yang Berkilauan
Bukan mudah jalan ini untuk di arungi
Apapun jua bisa terbukti
Andai langkahmu tidak terhenti

Menuju Puncak gemilang Cahaya
Mengukir cinta seindah asa
Menuju puncak impian di hati
Bersatu janji kawan sejati
Pasti berjaya di Alam Nur Ilahi
(Written by: Kuswanto Abu Irsyad)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar