Selasa, 26 Oktober 2010

Hakekat Bidadari

Melalui terjemahan Al-Qur’an berbahasa Indonesia kita menemukan sekurang-kurangnya 8 kelompok ayat yang memuat kata tentang bidadari di surga. Dari 8 kelompok ayat tersebut hanya 3 ayat yang menyebut secara jelas tentang bidadari, yaitu kata ‘huurin ‘iin’ :

Kadzaalika wazawwajnaahum bihuurin ‘iinin
"demikianlah. Dan Kami berikan kepada mereka bidadari". (QS 44 : 54)

Muttaki-iina ‘alaa sururin mashfuufatin wazawwajnaahum bihuurin ‘iinin
"mereka bertelekan di atas dipan-dipan berderetan dan Kami kawinkan mereka dengan bidadari-bidadari yang cantik bermata jeli". (QS 52 : 20)

Wahuurun ‘iinun, ka-amtsaali allu/lui almaknuuni
"Dan ada bidadari-bidadari bermata jeli, laksana mutiara yang tersimpan baik". (QS 56 : 22-23)

Apabila ditelusuri, kata bidadari melalui kata ganti, termuat dalam 5 kelompok ayat Al-Qur’an :

1. wa’indahum qaasiraatu alththharfi ‘iinun, ka-annahunna baydhun maknuunun

"Di sisi mereka ada bidadari-bidadari yang tidak liar pandangannya dan jelita matanya, seakan-akan mereka adalah telur (burung unta) yang tersimpan dengan baik". (QS 37 : 48-49)

qaasiraatu = tidak liar pandangan
atthafri = ujung/mata
‘inun = mata

2. wa’indahum qaasiraatu alththharfi atraabun

"Dan pada sisi mereka (ada bidadari-bidadari) yang tidak liar pandangannya dan sebaya umurnya". (QS 38 : 52)

wa’indahum = dan disisi mereka
qaasiraatu = tidak liar pandangan
atthafri = ujung/mata
atraabun = sebaya

3. fiihinna qaasiraatu alththharfi lam yathmitshunna insun qablahum walaa jaannun, ka-annahunna alyaaquutu waalmarjaanu

"Di dalam syurga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni syurga yang menjadi suami mereka), dan tidak pula oleh jin. [55:58] Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan". (QS 55 : 56)

fiihinna = didalamnya mereka
qaasiratu = pendek/menundukkan
athafri = ujung/mata
lam yathmitshunna = tidak/belum menyentuh mereka
insun = manusia

4. fiihinna khayraatun hisaanun, huurun maqshuuraatun fii alkhiyaami

"Di dalam syurga itu ada bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik-cantik. [55:72] (Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih, dipingit dalam rumah".(QS 55 : 70)

fiihinna = didalamnya mereka
khayraatun = baik-baik
hisaanun =bagus-bagus/cantik-cantik
huurun = yang putih/jelita
maqsuuraatun = tersimpan/terpingit
filkhiyaami = dalam mahligai/rumah

5. innaa ansya/naahunna insyaan, faja’alnaahunna abkaaraan, ‘uruban atraabaan

"Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung  dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya". (QS 56 : 36-37)

inna = sesungguhnya Kami
ansya’naahunna = Kami jadikan mereka
insyaa’an = dengan kejadian
faja’alnaahunna = maka kami jadikan mereka
abkaaran = gadis-gadis perawan

Dari kelima kelompok ayat tersebut hanya yang nomer 5 yang secara jelas menyebut objek yang dimaksud adalah berjenis kelamin wanita, sedangkan keempat ayat lainnya tidak secara jelas mengindikasikan apakah yang dimaksud adalah wanita atau bukan. Dalam terjemahan bahasa Indonesia kelompok ayat nomer 5 dibuat penjelasan dalam tanda kurung ‘bidadari’. Tafsir Jalalain juga memberikan penjelasan bahwa makhluk yang diciptakan tersebut adalah bidadari sekalipun Al-Qur’an tidak menyebut objeknya, dan kata ‘insyaa’an’ diartikan dengan kata ‘langsung’ yaitu yang diciptakan tanpa melalui proses kelahiran terlebih dahulu, sedangkan Tafsir Al-Mishbah tidak mengartikannya sebagai ‘bidadari’ dan tetap memakai kata ganti ‘mereka’, sedangkan kata ‘insyaa’an’ ditafsirkan dengan kata ‘sempurna’, sehingga bunyinya :”Sesungguhnya Kami menciptakan mereka dengan penciptaan sempurna..”, suatu penafsiran yang belum tentu berarti ‘diciptakan tanpa melalui proses kelahiran’.

Prof. Quraish Shihab  menjelaskan dalam Tafsir Al Misbah, kalimat ‘lagi sebaya umurnya’ dengan menyampaikan hadist diriwayatkan oleh at-Tirmidzi bahwa seorang wanita tua datang kepada Nabi Muhammad SAW memohon dido’akan agar masuk surga. Nabi menjawabnya dengan bersabda (dengan tujuan bergurau sambil mengajar) :”Beritahu wanita itu, bahwa dia tidak akan memasukinya dalam keadaan tua. Sesungguhnya Allah berfirman (lalu beliau membacakan ayat-ayat diatas) . Hadist ini diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi dan ath-Thabarani, namun oleh Ibnu Hajar dinilai merupakan hadist lemah. Kalau kita merujuk kepada penjelasan ini maka ‘diduga keras’ wanita yang dimaksud QS 56:35-37 adalah manusia biasa yang mendapat anugerah surga dan bukan bidadari seperti yang dimaksud dengan kata ‘huurin ‘iin’ dalam QS 44:54, QS 52:20, QS 56:22.

Dalam keempat kelompok ayat yang lain, Al-Qur’an menyampaikan adanya ‘sesuatu’ di Jannah yang mempunyai ciri-ciri : punya pandangan yang tidak liar, jelita matanya ibarat telur burung unta, berumur sebaya, sopan dan selalu menundukkan pandangan, belum pernah disentuh manusia, seperti permata yakut dan marjan, yang cantik (atau bagus) , putih dan tersimpan dalam mahligai. Kita tentunya boleh saja mengartikan ciri-ciri ini secara fisik dan harfiah dan itu mempunyai ‘peluang besar’ menuju kepada sosok wanita.

Namun tidak salah juga kalau para ahli hakekat mengartikan ciri-ciri tersebut secara majaazi, yaitu istilah kata ”Huuri'iin” sebenarnya terdiri dua kata yaitu Huuri atau haura yang artinya  ”tampak sedikit keputihan pada mata disela kehitamannya (dalam arti yang putih sangat putih dan yang hitam sangat hitam)”. Bisa juga ia berarti  "bulat", ada juga yang mengartikan "sipit lonjong". Sedangkan kata ‘iin’ adalah jamak dari kata ‘aina’ dan ‘ain’ yang berarti " bermata besar dan indah". Berdasarkan arti kata tersebut, "huurin ‘iin" secara hakekat adalah Penampakan (Tajalli) Nur Ilahi yang Wujudnya seperti  Misykat  yang di dalamnya ada Al Misbah, seperti yang diisyaratkan dalam  Surat An Nuur 24  ayat 35 dan Hadits Nabi Muhammad Saw.

"Allah adalah Cahaya  langit dan bumi. Perumpamaan Cahaya-Nya, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus (misykat) , yang di dalamnya ada pelita besar (misbah). Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya) , yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu". (QS 24 : 35)

“Kemudian Jibril mengantar aku ke Sidratul Muntaha, yang diliputi oleh Cahaya berwarna-warni yang sulit dilukiskan keindahannya. Kemudian aku masuk ke dalam Jannah, yang Cahayanya seperti Cahaya Mutiara” (HR Bukhari).

(Written by : Kuswanto Abu Irsyad)

ANTARA SUKMA NURANI DAN SUKMA DHULMANI

Menurut para sufi, manusia adalah  mahluk  Allah  yang  paling
sempurna  di  dunia  ini.  Hal  ini,  seperti  yang   dikatakan
Ibnu 'Arabi manusia bukan saja karena merupakan khalifah Allah
di  bumi  yang  dijadikan sesuai dengan citra-Nya, tetapi juga
karena ia merupakan mazhaz (penampakan atau tempat  kenyataan)
asma dan sifat Allah yang paling lengkap dan menyeluruh.

Allah  menjadikan  Adam  (manusia)  sesuai  dengan   citra-Nya.
Setelah jasad Adam dijadikan dari alam jisim,  kemudian  Allah
meniupkan ruh-Nya ke dalam jasad Adam. Allah berfirman:

Maka  apabila  Aku  telah  menyempurnakan  kejadiannya dan Aku
tiupkan kepadanya ruh-Ku (QS. 15: 29)

Jadi jasad manusia, menurut para sufi, hanyalah alat, perkakas
atau  kendaraan  bagi  rohani  dalam  melakukan   aktivitasnya.
Manusia pada hakekatnya bukanlah jasad lahir  yang  diciptakan
dari  unsur-unsur materi, akan tetapi rohani yang berada dalam
dirinya yang selalu mempergunakan tugasnya.

Karena itu, pembahasan tentang jasad  tidak  banyak  dilakukan
para sufi dibandingkan pembahasan mereka tentang ruh (al-ruh),
jiwa (al-nafs), akal (al-'aql) dan hati  nurani  atau   jantung
(al-qalb).

RUH DAN JIWA (AL-RUH DAN AL-NAFS)

Banyak  ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad.
Ruh berasal dari alam arwah  dan  memerintah  dan  menggunakan
jasad  sebagai  alatnya.  Sedangkan  jasad  berasal  dari alam
ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi.  Tetapi  para  ahli
sufi  membedakan  ruh  dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahi
dan cenderung kembali ke asal semula.  Ia  selalu  dinisbahkan
kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci.

Karena  ruh  bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah
ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia  tetap  suci.  Ruh  di
dalam  diri  manusia  berfungsi sebagai sumber moral yang baik
dan mulia. Jika ruh merupakan sumber  akhlak  yang  mulia  dan
terpuji,  maka  lain  halaya  dengan  jiwa. Jiwa adalah sumber
akhlak tercela, al-Farabi, Ibn  Sina  dan  al-Ghazali  membagi
jiwa   pada:   jiwa   nabati  (tumbuh-tumbuhan),   jiwa  hewani
(binatang) dan jiwa insani.

Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal  bagi  benda  alami  yang
organis  dari  segi  makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa
hewani,  disamping  memiliki  daya  makan  untuk  tumbuh    dan
melahirkan,  juga  memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang
kecil  dan  daya  merasa,  sedangkan  jiwa  insani    mempunyai
kelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs-al-nathiqah).

Daya    jiwa    yang    berfikir    (al-nafs-al-nathiqah   atau
al-nafs-al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf  dan  sufi,
yang  merupakan  hakekat atau pribadi manusia. Sehingga dengan
hakekat, ia  dapat  mengetahui  hal-hal  yang  umum  dan   yang
khusus, Dzatnya dan Penciptaannya.

Karena  pada  diri  manusia  tidak  hanya memiliki jiwa insani
(berpikir), tetapi juga jiwa  nabati  dan  hewani,  maka  jiwa
(nafs)  manusia  mejadi  pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat
yang  tercela  pada  manusia.  Itulah  sebabnya  jiwa   manusia
mempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya.

Apabila  jiwa  menyerah  dan  patuh  pada  kemauan syahwat dan
memperturutkan ajakan syaithan,  yang  memang  pada  jiwa  itu
sendiri  ada  sifat  kebinatangan,  maka  ia disebut jiwa yang
menyuruh berbuat jahat. Firman Allah, "Sesungguhnya jiwa  yang
demikian itu selalu menyuruh berbuat jahat." (QS. 12: 53)


Apabila  jiwa  selalu  dapat menentang dan melawan sifat-sifat
tercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela
manusia  yang  melakukan  keburukan dan yang teledor dan lalai
berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya,  "Dan  Aku
bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." (QS. 75:2).

Tetapi  apabila  jiwa  dapat  terhindar dari semua sifat-sifat
yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang  tenang  (al-nafs
al-muthmainnah).  Dalam  hal  ini  Allah menegaskan, "Hai jiwa
yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa  puas  lagi
diridhoi,  dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke
dalam Surga-Ku." (QS. 89:27-30)


Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu  jiwa  yang  telah
menjadi  tumpukan  sifat-sifat  yang  tercela, jiwa yang telah
melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan  jiwa  yang
telah  mencapai  tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman,
yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah
dijamin Allah langsung masuk surga.

Jiwa  muthmainnah  adalah  jiwa yang selalu berhubungan dengan
ruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai  sumber  moral  mulia  dan
terpuji,  dan  ia  hanya  mempunyai  satu  sifat,   yaitu suci.
Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen.  Allah
sampaikan,    "Demi    jiwa   serta    kesempurnaannya,   Allah
mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan."  (QS.91:7-8)
.
Artinya,  dalam  jiwa  terdapat potensi buruk dan baik, karena
itu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk.

AKAL

Akal yang dalam bahasa Yunani disebut  nous  atau  logos  atau
intelek  (intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya berpikir
yang terdapat dalam otak, sedangkan "hati"  adalah  daya  jiwa
(nafs  nathiqah).  Daya  jiwa  berpikir  yang ada pada otak di
kepala disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati (jantung) di
dada   disebut   rasa  (dzauq).  Karena  itu  ada   dua  sumber
pengetahuan, yaitu pengetahuan  akal  (ma'rifat  aqliyah)  dan
pengetahuan   hati  (ma'rifat  qalbiyah).  Kalau  para   filsuf
mengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih  mengunggulkan
pengetahuan hati (rasa).

Menurut  para filsuf Islam, akal yang telah mencapai tingkatan
tertinggi  --akal  perolehan  (akal   mustafad)--   ia    dapat
mengetahui  kebahagiaan  dan berusaha memperolehnya. Akal yang
demikian  akan  menjadikan  jiwanya  kekal  dalam   kebahagiaan
(sorga).  Namun, jika akal yang telah mengenal kebahagiaan itu
berpaling, berarti ia tidak berusaha memperolehnya. Jiwa  yang
demikian akan kekal dalam kesengsaraan (neraka).

Adapun   akal   yang   tidak   sempurna    dan  tidak  mengenal
kebahagiaan, maka menurut al-Farabi, jiwa yang  demikian  akan
hancur.  Sedangkan  menurut  para  filsuf tidak hancur. Karena
kesempurnaan  manusia  menurut  para  filsuf   terletak    pada
kesempurnaan  pengetahuan akal dalam mengetahui dan memperoleh
kebahagiaan  yang  tertinggi,  yaitu  ketika  akan  sampai   ke
tingkat akal perolehan.

HATI SUKMA (QALB)

Hati  atau  sukma  terjemahan  dari  kata  bahasa  Arab   qalb.
Sebenarnya terjemahan yang tepat  dari  qalb  adalah  jantung,
bukan  hati  atau  sukma.  Tetapi,  dalam  pembahasan ini kita
memakai kata hati sebagaimana yang sudah  biasa.  Hati  adalah
segumpal  daging  yang berbentuk bulat panjang dan terletak di
dada sebelah kiri. Hati dalam pengertian  ini  bukanlah  objek
kajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteran
yang cakupannya  bisa  lebih  luas,  misalnya  hati   binatang,
bahkan bangkainya.

Adapun  yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang
halus, hati-nurani --daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang
ada  pada  hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yang
disebut  dengan   rasa   (dzauq),   yang    memperoleh   sumber
pengetahuan  hati  (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allah
berfirman, "Mereka mempunyai hati, tetapi  tidak  dipergunakan
memahaminya." (QS. 7:1-79).

Dari  uraian  di  atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara,
bahwa menurut para filsuf dan sufi Islam, hakekat manusia  itu
jiwa  yang  berfikir  (nafs  insaniyah), tetapi mereka berbeda
pendapat pada cara mencapai kesempurnaan  manusia.  Bagi  para
filsuf,  kesempurnaan  manusia  diperoleh  melalui pengetahuan
akal  (ma'rifat  aqliyah),   sedangkan   para    sufi   melalui
pengetahuan  hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-sama
merupakan daya berpikir.

Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah  sebagai  wadah
atau  sumber  ma'rifat  --suatu  alat untuk mengetahui hal-hal
yang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan jika hati telah  bersih
dari  pencemaran  hawa  nafsu  dengan menempuh fase-fase moral
dengan latihan jiwa, serta  menggantikan  moral  yang  tercela
dengan moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa,
wara' serta dzikir yang kontinyu, ilmu  ladunni  (ilmu  Allah)
yang  memancarkan  sinarnya  dalam  hati,  sehingga  ia   dapat
menjadi  Sumber  atau  wadah  ma'rifat,  dan   akan    mencapai
pengenalan  Allah  Dengan  demikian,  poros  jalan  sufi ialah
moralitas.

Latihan-latihan ruhaniah yang  sesuai  dengan  tabiat  terpuji
adalah  sebagai  kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti
ketimbang kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh  luar
hanya  akan  membuat  hilangnya  kehidupan  di dunia ini saja,
sementara  penyakit  hati  nurani   akan   membuat    hilangnya
kehidupan  yang  abadi.  Hati  nurani  ini tidak terlepas dari
penyakit,  yang  kalau  dibiarkan   justru   akan    membuatnya
berkembang  banyak  dan  akan  berubah  menjadi  hati dhulmani
--hati yang kotor.

Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan  oleh
hasil  perjuangan antara hati nurani dan hati dhulmani. Inilah
yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya,  "Sesungguhnya
beruntunglah  orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah
orang yang mengotorinya." (QS. 91:8-9).

Hati nurani  bagaikan  cermin,  sementara  pengetahuan  adalah
pantulan  gambar  realitas  yang  terdapat  di  dalamnya. Jika
cermin hati nurani tidak bening, hawa  nafsunya  yang  tumbuh.
Sementara  ketaatan  kepada  Allah  serta  keterpalingan   dari
tuntutan hawa nafsu itulah  yang  justru  membuat  hati-nurani
bersih  dan  cemerlang  serta mendapatkan limpahan cahaya dari
Allah Swt.

Bagi para sufi, kata al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada
dada  seseorang,  tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya,
ataupun menulis buku, tetapi dengan bersikap asketis  terhadap
dunia,   menghindarkan   diri   dari  hal-hal   yang  berkaitan
dengannya, membebaskan hati nurani  dari  berbagai  pesonanya,
dan  menerima  Allah  segenap  hati.  Dan barangsiapa memiliki
Allah niscaya Allah adalah miliknya. Setiap hikmah muncul dari
hati nurani, dengan keteguhan beribadat, tanpa belajar, tetapi
lewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi.

Hati atau sukma dhulmani selalu mempunyai  keterkaitan  dengan
nafs  atau  jiwa  nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu
menggoda manusia untuk mengikuti hawa  nafsunya.  Kesempurnaan
manusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nurani
dalam pengendalian dan pengontrolan hati dhulmani.
(Ditulis oleh: Jalaluddin Rakhmat)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abu al-Wafi aI-Taftazani, Maduhal ila al-Tashawwuf al-Islamiy,
Kairo, 1983.

Ahmad Dandy, Allah dan Manusia Dalam Konsepsi Syeikh Nurudin
al-Raniry
Jakarta, Rajawali, 1983.

Al-Farabi, Kitab Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah, Kairo, 1906.

Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Kairo, 1334 H.

------, Ma'arij al-Quds fi Madarij Ma'rifah al-Nafs, Kairo,
1327 H.

------, Asnan al-Qur'an fi Ihya 'Ulum al-Din, Kairo.

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1978.

Muhyiddin Ibnu Arabi, Fushush al-Hikam, Kairo, 1949.


Sumber artikel: http://soni69.tripod.com/artikel/sukma_nurani_dhulmani.htm

Ilmu Laduni Hakikat dan Khurafat

Manusia dilahirkan di bumi ini dalam keadaan bodoh, tidak mengerti apa-apa. Lalu Allah mengajarkan kepadanya berbagai macam nama dan pengetahuan agar ia bersyukur dan mengabdikan dirinya kepada Allah dengan penuh kesadaran dan pengertian. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (An-Nahl: 78)Pada hakikatnya, semua ilmu makhluk adalah “Ilmu Laduni” artinya ilmu yang berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Para malaikat-Nya pun berkata: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.” (Al-Baqarah: 32) Ilmu laduni dalam pengertian umum ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, ilmu yang didapat tanpa belajar (wahbiy). Kedua, ilmu yang didapat karena belajar (kasbiy).
Bagian pertama (didapat tanpa belajar) terbagi menjadi dua macam: Ilmu Syar’iat dan Ilmu Ma’rifat
Ilmu Syar’iat, yaitu ilmu tentang perintah dan larangan Allah yang harus disampaikan kepada para Nabi dan Rasul melalui jalan wahyu (wahyu tasyri’), baik yang langsung dari Allah maupun yang menggunakan perantaraan malaikat Jibril. Jadi semua wahyu yang diterima oleh para nabi semenjak Nabi Adam alaihissalam hingga nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ilmu laduni termasuk yang diterima oleh Nabi Musa dari Nabi Khidlir . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Khidhir: “Yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Al-Kahfi: 65)
Di dalam hadits Imam Al Bukhari, Nabi Khidlir alaihissalam berkata kepada Nabi Musa alaihissalam: “Sesungguhnya aku berada di atas sebuah ilmu dari ilmu Allah yang telah Dia ajarkan kepadaku yang engkau tidak mengetahuinya. Dan engkau (juga) berada di atas ilmu dari ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadamu yang aku tidak mengetahuinya juga.”
Ilmu syari’at ini sifatnya mutlak kebenarannya, wajib dipelajari dan diamalkan oleh setiap mukallaf (baligh dan mukallaf) sampai datang ajal kematiannya.
Ilmu Ma’rifat (hakikat), yaitu ilmu tentang sesuatu yang ghaib melalui jalan kasyf (wahyu ilham/terbukanya tabir ghaib) atau ru’ya (mimpi) yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hambaNya yang mukmin dan shalih. Ilmu kasyf inilah yang dimaksud dan dikenal dengan julukan “ilmu laduni” di kalangan ahli tasawwuf. Sifat ilmu ini tidak boleh diyakini atau diamalkan manakala menyalahi ilmu syari’at yang sudah termaktub di dalam mushaf Al-Qur’an maupun kitab-kitab hadits. Menyalahi di sini bisa berbentuk menentang, menambah atau mengurangi.
Bagian Kedua
Adapun bagian kedua yaitu ilmu Allah yang diberikan kepada semua makhluk-Nya melalui jalan kasb (usaha) seperti dari hasil membaca, menulis, mendengar, meneliti, berfikir dan lain sebagainya.
Dari ketiga ilmu ini (syari’at, ma’rifat dan kasb) yang paling utama adalah ilmu yang bersumber dari wahyu yaitu ilmu syari’at, karena ia adalah guru. Ilmu kasyf dan ilmu kasb tidak dianggap apabila menyalahi syari’at. Inilah hakikat pengertian ilmu laduni di dalam Islam.
KHURAFAT SHUFI
Istilah “ilmu laduni” secara khusus tadi telah terkontaminasi (tercemari) oleh virus khurafat shufiyyah. Sekelompok shufi mengatakan bahwa:
* “Ilmu laduni” atau kasyf adalah ilmu yang khusus diberikan oleh Allah kepada para wali shufi. Kelompok selain mereka, lebih-lebih ahli hadits (sunnah), tidak bisa mendapatkannya.
* “Ilmu laduni” atau ilmu hakikat lebih utama daripada ilmu wahyu (syari’at). Mereka mendasarkan hal itu kepada kisah Nabi Khidlir alaihissalam dengan anggapan bahwa ilmu Nabi Musa alaihissalam adalah ilmu wahyu sedangkan ilmu Nabi Khidhir alaihissalam adalah ilmu kasyf (hakikat). Sampai-sampai Abu Yazid Al-Busthami (261 H.) mengatakan: “Seorang yang alim itu bukanlah orang yang menghapal dari kitab, maka jika ia lupa apa yang ia hapal ia menjadi bodoh, akan tetapi seorang alim adalah orang yang mengambil ilmunya dari Tuhannya di waktu kapan saja ia suka tanpa hapalan dan tanpa belajar. Inilah ilmu Rabbany.”
* Ilmu syari’at (Al-Qur’an dan As-Sunnah) itu merupakan hijab (penghalang) bagi seorang hamba untuk bisa sampai kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
* Dengan ilmu laduni saja sudah cukup, tidak perlu lagi kepada ilmu wahyu, sehingga mereka menulis banyak kitab dengan metode kasyf, langsung didikte dan diajari langsung oleh Allah, yang wajib diyakini kebenarannya. Seperti Abd. Karim Al-Jiliy mengarang kitab Al-Insanul Kamil fi Ma’rifatil Awakhir wal Awail. Dan Ibnu Arabi (638 H) menulis kitab Al-Futuhatul Makkiyyah.
* Untuk menafsiri ayat atau untuk mengatakan derajat hadits tidak perlu melalui metode isnad (riwayat), namun cukup dengan kasyf sehingga terkenal ungkapan di kalangan mereka “Hatiku memberitahu aku dari Tuhanku.” Atau “Aku diberitahu oleh Tuhanku dari diri-Nya sendiri, langsung tanpa perantara apapun.”
Sehingga akibatnya banyak hadits palsu menurut ahli hadits, dishahihkan oleh ahli kasyf (tasawwuf) atau sebaliknya. Dari sini kita bisa mengetahui mengapa ahli hadits (sunnah) tidak pernah bertemu dengan ahli kasyf (tasawwuf).
BANTAHAN SINGKAT TERHADAP KESESATAN DI ATAS
* Kasyf atau ilham tidak hanya milik ahli tasawwuf. Setiap orang mukmin yang shalih berpotensi untuk dimulyakan oleh Allah dengan ilham. Abu Bakar radhiallahu anhu diilhami oleh Allah bahwa anak yang sedang dikandung oleh isterinya (sebelum beliau wafat) adalah wanita. Dan ternyata ilham beliau (menurut sebuah riwayat berdasarkan mimpi) menjadi kenyataan. Ibnu Abdus Salam mengatakan bahwa ilham atau ilmu Ilahi itu termasuk sebagian balasan amal shalih yang diberikan Allah di dunia ini. Jadi tidak ada dalil pengkhususan dengan kelompok tertentu, bahkan dalilnya bersifat umum, seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam: “Barangsiapa mengamalkan ilmu yang ia ketahui, maka Allah mewariskan kepadanya ilmu yang belum ia ketahui.” (Al-Iraqy berkata: HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dari Anas radhiallahu anhu, hadits dhaif).
* Yang benar menurut Ahlusunnah wal Jama’ah adalah Nabi Khidhir alaihissalam memiliki syari’at tersendiri sebagaimana Nabi Musa alaihissalam. Bahkan Ahlussunnah sepakat kalau Nabi Musa alaihissalam lebih utama daripada Nabi Khidhir alaihissalam karena Nabi Musa alaihissalam termasuk Ulul ‘Azmi (lima Nabi yang memiliki keteguhan hati dan kesabaran yang tinggi, yaitu Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad). Adapun pernyataan Abu Yazid, maka itu adalah suatu kesalahan yang nyata karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam hanya mewariskan ilmu syari’at (ilmu wahyu), Al-Qur’an dan As-Sunnah. Nabi mengatakan bahwa para ulama yang memahami Al-Kitab dan As-Sunnah itulah pewarisnya, sedangkan anggapan ada orang selain Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam yang mengambil ilmu langsung dari Allah kapan saja ia suka, maka ini adalah khurafat sufiyyah.
* Anggapan bahwa ilmu syari’at itu hijab adalah sebuah kekufuran, sebuah tipu daya syetan untuk merusak Islam. Karena itu, tasawwuf adalah gudangnya kegelapan dan kesesatan. Sungguh sebuah sukses besar bagi iblis dalam memalingkan mereka dari cahaya Islam.
* Anggapan bahwa dengan “ilmu laduni” sudah cukup adalah kebodohan dan kekufuran. Seluruh ulama Ahlussunnah termasuk Syekh Abdul Qodir Al-Jailani mengatakan: “Setiap hakikat yang tidak disaksikan (disahkan) oleh syari’at adalah zindiq (sesat).”
* Inilah penyebab lain bagi kesesatan tasawwuf. Banyak sekali kesyirikan dan kebid’ahan dalam tasawwuf yang didasarkan kepada hadits-hadits palsu. Dan ini pula yang menyebabkan orang-orang sufi dengan mudah dapat mendatangkan dalil dalam setiap masalah karena mereka menggunakan metode tafsir bathin dan metode kasyf dalam menilai hadits, dua metode bid’ah yang menyesatkan.
Tiada kebenaran kecuali apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda: “Wahai manusia belajarlah, sesungguhnya ilmu itu hanya dengan belajar dan fiqh (faham agama) itu hanya dengan bertafaqquh (belajar ilmu agama/ilmu fiqh). Dan barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah, maka ia akan difaqihkan (difahamkan) dalam agama ini.” (HR. Ibnu Abi Ashim, Thabrani, Al-Bazzar dan Abu Nu’aim, hadits hasan).
Sumber:
Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-Asqalaniy (I/141, 167).
Fiqhut Tasawwuf, Ibnu Taimiah (218).
Mawaqif Ahlusunnah, Utsman Ali Hasan (60, 76).
Al-Fathur Rabbaniy, Abdul Qadir Al-Jailani (hal. 159, 143, 232).
Al-Fatawa Al-Haditsiyah, Al-Haitamiy (hal. 128, 285, 311).
Ihya’ Ulumuddin, Al-Ghazali (jilid 3/22-23) dan (jilid 1/71).
At-Tasawwuf, Muhammad Fihr Shaqfah (hal. 26, 125, 186, 227).
Al-Hawi, Suyuthiy (2/197).


Jumat, 22 Oktober 2010

Metode dan Teknik Quantum Makrifat

Mendasari pada kenyataan yang terjadi saat ini, bahwa begitu banyak teknik/metode dan pelatihan untuk mencapai kecerdasan paripurna dalam diri manusia dengan mengembangkan kemampuan IQ, EQ dan SQ dan pengoptimalan kekuatan pemikiran (The Power Of Positive Thinking) dan kekuatan Perasaan-Hati (The Power Of Positive Feeling). Maka izinkanlah saya untuk urun rembuk dalam kancah pencarian serta sumbang pemikiran untuk juga mencarikan solusi yang efektif dalam mewujudkan manusia yang paripurna, sebagai Khalifah Allah di muka bumi ini.

Menyadari dengan keterbatasan yang ada pada diri saya, dan keyakinan yang begitu mendalam akan kekuatan maha dahsyat dalam diri manusia yaitu Ruh. Saya memberanikan diri untuk berbagi pengalaman terhadap sebuah proses panjang yang telah saya lewati untuk mencari makna terdalam dalam hidup ini. Suatu pemaknaan hakiki terhadap pengenalan Tuhan (Makrifat) yang lebih dari 10 tahun telah saya geluti.

Dari itu semua, saya mencoba memformulasikan suatu teknik dan metode yang saya beri nama QUANTUM MAKRIFAT. Teknik ini menggabungkan dua kekuatan tradisi yang sudah ada saat ini. Yaitu Peninggalan Tradisi para pendahulu kita (para agamawan, praktisi spiritual dan mistikus) dengan tuntunan bijak falsafah hidup dan keagamaan, untuk mencapai Makrifat secara seketika (Loncatan Quantum). Teknik dan tuntunan ini diharapkan akan dengan mudah mencapai titik sasaran pada pemilik dari segala kecerdasan yang ada pada manusia (IQ, EQ dan SQ) - terdapat di Otak - dan pusat perasaan-hati yang ada di Jantung manusia yaitu Allah. Teknik kuno dari tradisi klasik ini mencapai sasarannya dengan menggiring manusia untuk menemukan sumber hakiki dari kekuatan Spiritual. Kemudian memperkenalkannya dengan Pusat Cahaya yang ada di titik God-Spot, serta mengharmoniskan dengan kekuatan perasaan yang ada di dalam Rongga dada manusia yaitu Jantung (Heart), secara lengkap akan dibahas di dalam tulisan-tulisan berikutnya.
Kemudian mempersiapkan perangkat keras tersebut (Otak dan Jantung) untuk di upgrade (dioptimalkan / ditingkatkan kapasitasnya), sehingga siap menerima perubahan, sebelum diisi dengan perangkat lunak berupa wawasan serta wacana dalam pengembangan diri manusia untuk mengubah karakter serta tabiat buruk yang melekat pada manusia (Menjadi Manusia yang berakhlak Mulia – Berakhlak Allah). Peng-upgrade-an ini dilakukan dengan memanfaatkan kekuatan tradisi yang kedua, yaitu Teknologi modern saat ini. Pengetahuan teknologi modern saat ini sudah berkembang cukup jauh, mengenai pengoptimalan Otak manusia dan seluruh potensi tubuh manusia, berupa penemuan dalam bidang Neuroscience, quantum physics, evolutinary biology, brain science dan science of mind.

Pengetahuan Modern saat ini telah menjelaskan dengan rinci keajaiban otak dan peran pentingnya dalam kehidupan manusia. Serta Keajaiban Jantung sebagai perangkat keras pusat emosi atau perasaan manusia. Mempersiapkan kedua wadah yang telah diberikan Allah, untuk mencapai Makrifat secara Quantum adalah menjadi hal yang mutlak. Karena akan percuma bila diri kita diisi oleh wawasan, ilmu dan wacana untuk mengembangkan diri menjadi lebih baik (berakhlak), tanpa mempersiapkan perangkat keras (Otak dan Jantung) dengan mengkondisikan pada kondisi yang siap untuk menerima asupan ilmu serta kebijaksanaan yang bersumber dari Tuhan tersebut.

Persiapan ini dilakukan dengan menggunakan teknologi Suara (Sound of Technology) yang berpengaruh terhadap gelombang otak manusia dan suasana hati (perasaan) kepada kondisi yang kondusif. Kondisi kondusif ini ditandai dengan otak yang khusyuk, fokus, kreatif, energi positif, intuitif secara seketika, perasaan damai, tenang, tentram dan berserah. Kondisi ini bisa dicapai dengan mendengarkan suara yang sudah disusun dan diprogram sedemikian rupa untuk mempengearuhi wadah yang ada dalam diri manusia berupa otak dan jantung. Sehingga secara sadar maupun tidak sadar, sesaat setelah mendengarkan suara musik yang ada dalam paket CD yang bisa di dapat di QM CENTER, kita akan mendapati diri kita masuk dalam suasana yang khusuk, fokus, damai, tentram, dan berserah. Teknik detailnya dalam menggunakan CD suara ini akan dibahas dibab selanjutnya.

Lompatan Quantum Untuk Mengenal Tuhan

Dengan mempraktekkan Metode yang konfrehensif ini maka akan terjadi lompatan Quantum kesadaran dalam diri manusia untuk mengenal Tuhannya. Loncatan Quantum kesadaran inilah yang dinamakan Quantum Makrifat. Suatu keadaan atau kondisi seseorang mengenal Tuhan dengan sebenar-benarnya. Ia akan menyaksikan Cahaya yang terang benderang sebagai pusat Kesadaran yang ada di Jiwanya. Sebagaimana Al Quran menginformasikan hal ini dalam surat An Nur 24:35. Inilah titik God-Spot yang saat ini dibicarakan oleh begitu banyak peneliti dan para pakar Spiritual quotient (SQ) seperti Danah Zohar dan Ian marshal, Michael Persinger dan V.S. Ramachandran. Inilah Fitrah sesungguhnya atas keberadaan manusia. Suatu tempat yang tinggi dalam puncak keberadaan manusia. Eksistensi God-Spot dalam Otak manusia yang sudah Built-in sebagai pusat spiritual (spiritual center) yang terletak di antara jaringan saraf dan otak manusia.
 
(sumber : www.quantum-makrifat.blogspot.com)



Pencari Tuhan

Dalam kesempatan ini aku mencoba untuk menulis masalah ma’rifatullah. Banyak sekali pengajaran atau kajian-kajian tentang ketuhanan saat ini berkembang dimasyarakat. Dengan masing-masing pihak memberikan pernyataan bahwa ajaran merekalah yang “sampai” ke Allah. Terkadang masing-masing pihak menjatuhkan talak bahwa ajaran lainnya tidak sempurna dan “belum sampai”. Ironis memang apabila seorang mursyid menyatakan hal yang demikian ini akan menyebabkan ketersesatan murid dalam menggali maha luasnya samudra ilmu ketuhanan. Padahal ilmu Allah ada dimana-mana dan sangatlah luas. Perjumpaan dengan Allah itupun dapat terjadi dimana saja karena Allahlah yang Maha Berkehendak. Beranjak dari hal tersebut ada keinginan sumbang tulisan dalam pemahaman tersebut. Terutama bagi para pesuluk (orang yang berjalan mencari Allah) agar tidak terjebak kepada sebuah pemahaman sempit tentang mengenal Allah.
Setiap ajaran Ketuhanan masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Sesuatu yang diajarkan pada satu ajaran belum tentu ada pada pengajaran pihak lain demikian pula sebaliknya. Dalam posisi ini, maka tidak layak bagi kita untuk memvonis ajaran orang lain tidak “sampai” dan dengan kebanggaan bahwa ajaran kitalah yang terbaik, apalagi dengan menjelekkan mursyid-mursyid yang lain. Inilah pertanda syuuzhon (prasangka buruk) yang dimurkai Allah. Yang dibutuhkan adalah masuk keseluruh kekhazanah ajaran tersebut agar mengetahui seluruh kelebihan dan kekurangan masing-masing ajaran. Dengan kesimpulan tidak menjatuhkan ajaran yang satu dengan ajaran yang lainnya akan tetapi dapat membulatkan seluruh pemahaman dari berbagai sumber tersebut terhadap perjumpaan dengan Allah. Tentu dengan berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah.
Orang dapat menemukan Allah dimana saja dan kapan saja. Ada empat wilayah pertemuan manusia dengan Allah, Pertama pertemuan dengan Allah dalam ilmu dan pengamalan Syariat, kedua dalam ilmu dan pengamalan tareqat, ketiga dalam ilmu dan pengamalan haqekat dan keempat pertemuan dalam ilmu dan pengamalan ma’rifat. Orang bisa saja “bertemu” Allah dimasing-masing ilmu dan pengamalan tersebut atau pada keempat wilayah pertemuan tersebut. Tentu sesuai dengan kadar / maqom kita masing masing, Hadis menyatakan apabila hambaku datang kepadaku dengan berjalan maka aku akan menghampirinya dengan berlari dst (cari)
Saat ini metode yang dikembangkan banyak pihak untuk belajar agama (baca ilmu ketuhanan) dengan memakai tahapan melalui syareat, tareqat, haqekat dan ma’rifat. Kalau kita bertolak dari hadis yang menyatakan awaluddin ma’rifatullah (awal beragama adalah mengenal Allah). Maka tentu kita sangat tidak ingin membalik hadis itu dengan awaluddin syareatullah, tareqatullah ataupun haqeqatullah. Mengenal Allah adalah tahap paling dasar dari seseorang dalam perjalanan keagamaannya. Sering ditemui apabila seseorang telah belajar ma’rifatullah merasa sudah mencakup segala-galanya, padahal itu hanya awalnya saja. Jadi pertanyaan dimana tengah dan akhirnya. Kalo kita urutkan maka setelah belajar ma’rifat harus ditingkatkan ke haqeqat, tareqat dan terakhir baru syareat. Maka dapat kita simpulkan pemahaman tertinggi seseorang dalam beragama adalah ketika seseorang dapat memahami dan mengamalkan keempat rukun agama tersebut. Tidak dapat dikatakan sempurna agama seseorang yang berma’rifat tanpa menjalankan kan syareat, tareqat dan haqeqat. Maka standar Ilmu Ketuhanan seseorang itu dapat dikatakan sempurna apabila ia telah melaksanakan syareat, tareqat, haqeqat dan ma’rifat dalam satu kesatuan yang utuh kepada Allah.

(Sumber : bijakpulon.wordpress.com)

Pengertian Ilmu Tasawuf

Saat ini, kajian tentang ilmu Tasawuf sedang digemari oleh umat Islam di Indonesia, tetapi ada juga sebagian umat Islam yang mempertanyakan kebenaran ilmu tasawuf tersebut, sehingga kita sering menemukan ajang perdebatan yang tak kunjung selesai tentang masalah tersebut, termasuk juga di situs jejaring sosial semisal Facebook. Hal ini terjadi dikarenakan banyak umat Islam, yang sebenarnya kurang memahami secara teori apa itu ilmu tasawuf dan juga pengalaman yang dialami oleh para pengamal ilmu tasawuf. Untuk mengantarkan kita ke pembahasan Ilmu Tasawuf maka sebaiknya kita ketahui terlebih dahulu tentang asal kata “Tasawuf” itu sendiri dan artinya menurut Bahasa atau Lugho.
Sampai saat ini para ahli berbeda pendapat mengenai asal usul kata “Tasawuf” tersebut. Pendapat-pendapat mereka dilandasi oleh argumentasi yang dapat diterima karena berdasarkan analisa yang mendalam serta bukti sejarah hikmah yang terkandung dalam kehidupan kaum sufi. Diantara pendapat itu adalah sebagai berikut :
Shifa atau Shafa atau Shaf yang berarti bersih atau suci karena orang-orang sufi dalam hidupnya bertujuan untuk membersihkan atau mensucikan rohaninya.
Shuf, yang berarti bulu atau kain yang dibuat dari bulu (wool). Karena para sufi sering memakai kain bulu kasar.
Suffah yang berarti satu kamar disamping Masjid Nabawy di Madinah yang disediakan untuk para sahabat Nabi, golongan Muhajirin yang digunakan untuk berkhalawat dan beruzlah dalam rangka bertaqarub kepada Allah.
Shaf yang berarti barisan di saat shalat berjamaah. Alasannya adalah karena orang-orang sufi selalu memilih shaf terdepan dan mereka mempunyai iman yang kuat dan jiwa yang bersih.
Shafwah yang berarti yang terpilih atau yang terbaik, alasannya karena orang-orang sufi merupakan orang-orang terpilih atau orang terbaik.
Shifah yang berarti sifat karena orang sufi lebih mengutamakan sifat yaitu mengutamakan menumbuhkan sifat-sifat terpuji daripada sifat tercela.
Shaufanah yang berarti sejenis tumbuhan yang banyak tumbuh di gurun pasir yang buahnya berbulu. Pengambilan kata ini karena orang-orang sufi banyak memakai pakaian berbulu dan mereka hidup dalam kegersangan fisik tetapi subur rohaninya.
Gelar yang diberikan kepada Haus bin Murr, seorang yang sangat saleh yang hidup di masa jahiliah. Haus bin Murr diberi gelar Shufah karena ia senantiasa beritikaf dan beribadah di sisi Ka’bah. Pengambilan kata ini karena orang-orang sufi selalu beribadat memuji dan memuja Tuhannya.
Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kata “Tasawuf” bukan berasal dari bahasa Arab tetapi berasal dari Bahasa Yunani yaitu “Theosophi” kata Theosophi” terdiri dari dua kata yaitu “Theo” yang berarti Tuhan dan “Sophos” berarti Hikmah. Jadi Theosophi berarti Hikmah Ketuhanan. Hal ini dikarenakan ajaran Tasawuf banyak mengandung pelajaran hikmah-hikmah Ketuhanan yang mirip dengan ajaran dari golongan Neo Platonisme di Yunani.
Kesembilan kata dan arti kata “Tasawuf” tersebut dapat kita terima tetapi yang harus diingat bahwa di dalam perjalanan tasawuf sangat banyak ungkapan, kias dan simbol-simbol yang kita temui dan bila diterjemahkan ungkapan atau pendapat tentang asal kata dan arti tasawuf tersebut akan kita temui tingkatan sebagai berkut :
Pertama : untuk mencapai tingkat tertinggi dalam beribadah langsung kepada Allah SWT hendaknya dimulai dari kebersihan rohani, kesucian hati dari semua perbuatan dan sifat tercela seperti dengki, fitnah, benci, sombong, dan lain-lain. Tingkatan ini disebut tingkatan SHAFA, kemudian setelah mencapai derajat shifa atau bersih maka harus diisi dan ditumbuhkan sifat-sifat terpuji. Tingkatan ini dinamakan tingkat SHIFA.
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu yaitu Kitab Al-Qur’an dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar, dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kau kerjakan”. (QS Al Ankabut 29 : 45)
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS Ali Imran 3 : 104).
Kedua : kita menyadari bahwa asal usul kejadian jasad manusia berasal dari sari pati tanah, sari pati mani, darah, dan daging. Saatnya nanti akan kembali ke tempat yang kotor tanah. Demikian pula semua hewan yang berasal dari tanah, kalau mati kelak jasadnya akan kembali ke tanah. Demikian pula semua hewan yang berasal dari tanah, kalau mati kelak jasadnya akan kembali ke tanah. Oleh sebab itu kiasan bahwa jasad manusia biarlah sama dengan hewan atau domba (shuf) tetapi Roh harus tetap suci. Tingkatan ini dinamakan dengan tingkatan Qana’ah dimana seorang sufi harus mengutamakan kesucian rohani tanpa mengabaikan kesucian dan kepentingan jasmani.

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan jangan melupakan bahagiamu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS Al Qashash 28 : 77)
Ketiga : Bila mencontoh para Nabi dalam usahanya untuk menemui Tuhannya selalu dimulai dengan renungan suci, tafakur, tadzakur, atau meditasi. Mereka melakukannya di tempat terpisah dan menyendiri (shuffah). Demikian juga para sahabat melakukan uzlah atau khalawat dengan membuat suatu kamar yang kecil disamping masjid Nabawi dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah.

“Dan sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang”. Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari”. (QS Al Insaan 76 : 25 – 26)
Keempat : Mereka bershalat pada barisan terdepan (shaff) untuk menghadap Allah dalam arti sebenarnya. Ia berhubungan langsung tanpa wasilah dengan Allah. Dalam arti Allah bersamaku dan aku menyaksikan tiada yang lain selain Allah di Bait-Nya. Tingkatan ini dinamakan tingkatan Shaff yang terdepan dan orang-orang yang berada di shaff terdepan ini adalah orang-orang yang terpilih dan terbaik (shafwah) dan mereka akan mendapat petunjuk dari Allah yang berkaitan dengan hikmah-hikmah Ketuhanan (Theosophie).
Jadi kesucian hati dan rohani, kesederhanaan jasmani, menghilangkan sifat tercela, menumbuhkan sifat terpuji, kemudian mengadakan renungan suci adalah merupakan satu rangkaian perjalanan ke makam yang tertinggi (Al ’Ally). Memasuki pintu gerbang Baitullah kemudian terbuka hijab sehingga pandangan amat terangnya.

“Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan dari padamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam”. (QS Qaaf 50 : 22)
Saat itu mereka telah menyaksikan paling terdepan. Maksud kata “terdepan” adalah tidak ada lagi pembatasan, tidak ada lagi hijab atau tirai yang menghalangi antara dia dengan Tuhannya sehingga dia menjadi insan terbaik dan terpilih yang selalu mendapat hikmah-hikmah langsung dari Tuhannya.


(Written by : Kuswanto Abu Irsyad)

Kamis, 21 Oktober 2010

Tareqat Haqmaliyah



Tareqat Haqmaliyah adalah satu dari sekian banyak tareqat yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Masing-masing tareqat mempunyai metode sendiri-sendiri dalam pengajarannya. Dasar dari tareqat adalah hadis Nabi Muhammad saw yang mengatakan sareat itu adalah perkataanku, tareqat itu adalah perbuatanku, haqeqat itu adalah kelakuanku dan ma’rifat itu adalah tujuanku. Tareqat artinya mempelajari seluruh perbuatan-perbuatan nabi secara umum dan khusus dalam pengertian ini lebih menitik beratkan kepada jalan mengenal Allah.
Tareqat haqmaliyah artinya jalan yang harus ditempuh seseorang dalam memahami sareat, haqekat dan ma’rifat dengan pengamalan yang haq. Untuk mempelajari tareqat ini harus langsung di bawah bimbingan seorang mursyid (Guru Pembimbing). Hanya mursyid yang berhak memberikan petunjuk dan membuka seluruh rahasia ajaran Haqmaliyah. Dalam setiap generasi hanya ada satu orang mursyid artinya seorang mursyid tidak boleh ada perwakilan dan pengganti kecuali mursyid tersebut meninggal dunia. Dengan demikian kemurnian ajaran tareqat ini tidak bisa diwarnai, ditambah, dikurang dan diubah oleh siapapun. Mursyid tareqat Haqmaliyah bersifat turun temurun dari satu garis keturunan, itupun harus mendapat “penunjukan langsung” dari Allah.
Tareqat ini berpegang teguh kepada Al Qur’an dan Al Hadis, juga mempunyai kitab panduan atau Kitab Pengantar pemahaman tentang inti ajaran Haqmaliyah yang disebut Kitab Layang Muslimin Muslimat terdiri dari enam jilid ditulis dalam bahasa Sunda dalam bentuk tembang atau pupuh lagu dan dikarang tahun 1930 oleh Mama Raden Asep Martawidjaja bin H. Muhammad Kahfi. Baru pada bulan Mei tahun 1996 Kitab Layang Muslimin Muslimat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Sobarnas setelah mendapat persetujuan Raden Toto Mutholib Martawidjaja selaku Mursyid pada masa itu. Kitab Layang Muslimin Muslimat edisi bahasa Indonesia dirampingkan menjadi empat jilid.
Pada zaman Raden Toto Mutholib Martawidjaja dibuatlah sebuah Yayasan Miftahul Ulum. Yayasan dimaksud dimaksudkan untuk mewadahi, tempat berkumpul dan bersilaturrahmi ikhwan haqmaliyah. Menariknya dalam pertemuan selalu dibahas hasil penemuan-penemuan spritual atau hasil lelakon dari para ikhwan dan kemudian dijelaskan oleh mursyid apa yang telah mereka temui.  Selain itu, yayasan ini menitik beratkan aktifitasnya dibidang pendidikan. Saat ini Yayasan Maftahul Ulum dikelola oleh anak Raden Toto Mutholib Martawidjaja.
Pengikut tareqat Haqmaliyah sudah menyebar hampir diseluruh wilayah Indonesia bahkan menurut Mursyid yang saat ini yang bermukim di Cimahi, ajaran inipun telah sampai kenegeri Belanda yang di bawa langsung oleh keturunan Raden Muhammad Kahfi. Tareqat ini bukan hanya milik orang Sunda seperti yang di tulis dalam sebuah blog akan tetapi milik  umat. Siapapun boleh ikut dalam tareqat ini asal dia seorang muslim.
Dalam silsilahnya, tareqat ini sambung menyambung dari Nabi Muhammad saw, beberapa wali tanah jawa seperti Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati sampai dengan Mursyid yang terakhir. Penyebaran tareqat ini dikenal pada masa Syech Muhammad Kahfi atau lebih dikenal dengan Sech Datul Kahfi seorang pelaku sejarah di Kabupaten Garut.
Ayat Alquran maupun Hadis yang sering digunakan untuk memperdalam pengetahuan tentang Ketuhanan dalam tareqat Haqmaliyah antara lain; awaludinni ma’rifatulaah, innalillahi wa innailaihi roojiun, moutu antal qoblal maotu, nurun ala nur, man arofa nafsahu faqod arofa raobbahu wa man arofa robbahu faqod jahilan nafsahu, wa nahnu akrobu ilaihi min hablil warid, dll.
Untuk mempelajari tareqat ini tidak bisa hanya belajar luarnya saja karena ada batasan-batasan yang boleh disampaikan dan yang tidak. Perlu waktu yang lama serta istiqomah sehingga dapat benar-benar memahami semua inti ajaran tareqat Haqmaliyah.
Ketika penulis sering bermuhasabah dengan Raden Toto Mutholib Martawidjaja. Abah Toto’ demikian penulis memanggilnya di Tarogong Pataruman Garut, semoga beliau telah mencapai “innalillahi wa innailaihi rojiun”. Banyak sekali hal yang bisa dipetik dalam ajaran ini untuk mencapai selamat dunia dan selamat akherat. Tareqat ini harus difahami secara terus menerus dan kesungguhan untuk mendalami dan mengkajinya sehingga betul-betul bisa memaknai hakekat sejati dalam bertuhan.

(Sumber : www.bijakpulon.wordpress.com)

Kilat Di Gunung Thur Sina

Manusia adalah makhluk Allah yang dikaruniakan Allah dengan satu kelebihan dibandingkan dengan makhluk lainnya. Kelebihan itu adalah kemampuan akal yang terdapat di kepala. Kepala manusia yang sangat ditinggikan oleh Allah telah diinformasikan dalam Al Qur’an dengan istilah simbolis “Gunung” atau “Thur sina”.

“Dia telah menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya dan Dia memberkahinya … “. (QS Fushshilat 41 : 10).

“Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh, supaya bumi itu tidak goncang bersama mereka ….”. (QS Al Anbiya 21 : 31)

“Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu …..”. (QS An Nahl 16 : 15)

Istilah “gunung” dalam ayat tersebut mempunyai arti simbolis yaitu “kepala manusia”, sedangkan kata “bumi” mempunyai arti simbolis yaitu “Jasmani” manusia. Fungsi kepala bagi jasmani manusia adalah sebagai penyeimbang jasmani karena di dalam kepala manusia terdapat oragan tubuh yang sangat penting yaitu empat indera berserta alatnya dan segumpal otak yang terdiri dari bermilyar-milyar jaringan sel otak yang disebut Neuron, yang berfungsi sebagai pusat kesadaran, pusat ingatan, pusat keseimbangan tubuh dan masih sangat banyak lagi fungsi lainnya.

Kemampuan yang ada dalam otak dan kepala manusia, sangatlah penting yaitu sebagai alat untuk mengetahui segala sesuatu dengan daya nalar atau berfikir. Kekuatan daya fikir ini mempunyai energi psikis yang sangat besar, apabila dimanfaatkan secara maksimal. Kekuatan daya fikir ini sangat tergantung dengan berfungsinya tujuh lubang atau tujuh pintu yang ada di kepala manusia yaitu dua lubang telingan, dua lubang mata, dua lubang hidung dan satu lubang mulut. Ketujuh lubang tersebut berfungsi sebagai pintu keluar masuknya rasa penginderaan yaitu penglihatan, pendengaran, pencium dan pengecapan. Secara simbolis ketujuh pintu atau lubang yang ada di kepala tersebut diberitahukan dalam Al Qur’an dengan istilah Tujuh Jalan Di Atas Kita. Hal ini tercantum dalam Firman-Nya :

“Dan sesungguhnya kami menciptakan di atas (kepala) kamu Tujuh Buah Jalan (keluar masuknya empat rasa) dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan Kami tersebut”. (QS Al Mu’minun 23 : 17).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menciptakan Tujuh Buah Jalan yang menjadi sarana keluar masuknya empat jenis rasa yaitu rasa penglihatan, rada pendengaran, rasa penciuman dan rasa pengecapan. Wujud dari ke empat rasa ini bersifat ghaib dan tidak akan berubah atau bertukar fungsinya karena Allah telah menjaganya dengan hokum-Nya atau Sunnatullah.

Ke empat jenis rasa tersebut hanya dapat dirasakan oleh rasa rohani manusia. Rasa rohani manusia tersebut dalam bahasa atau kamus tasawuf disebut sebagai rasa sejati. Rasa penginderaan dan rasa sejati tersebut tidak dapat diceritakan dengan kata-kata tetapi hanya dapat disimbolkan dalam bentuk bahasa lisan manusia, yang terwujud dalam bentuk rasa kelima yaitu rasa pengucapan yang berfungsi sebagai sarana untuk mengkomunikasikan rasa tersebut kepada orang lain. Tetapi ungkapan dari ucapan itupun jauh dari kenyataan yang sesungguhnya.

Dalam kamu Wali Tanah Jawa, ke-empat rasa penginderaan tersebut disimbolkan dengan empat sahabat Rasulullah SAW, yaitu :

1. Abu Bakar disimbolkan sebagai penglihatan
2. Umar bin Khatab disimbolkan sebagai pendengaran
3. Usman bin Affan disimbolkan sebagai pencium
4. Ali bin Abi Thalib disimbolkan sebagai pengucapan

Sedangkan rasa rohani disimbolkan rasa sejati yang merupakan perwujudan dari rasa Allah. Rasa Allah ini oleh Wali Tanah Jawa sering disimbolkan dengan istilah Rasulullah.

Kita sebagai umat Islam diperintahkan untuk memegang Gunung Thur Sina atau kepada yang telah Allah tinggikan dan dianugerahkan-Nya. Hal ini sesuai dengan firman-Nya :

“Aku tinggikan atau angkat “Gunung Thursina” di atas kamu, peganglah erat-erat apa yang Aku berikan itu dan pelajarilah apa yang terdapat di dalamnya, agar engkau mengerti dan beriman kepada-Ku”. (QS Al Baqarah 2 : 63)

Berdasarkan ayat tersebut, kita diperintahkan untuk mempergunakan atau memanfaatkan seluruh potensi yang ada pada kepala kita yaitu potensi inderawi dan potensi akal untuk mempeljari semua pengetahuan lahiriah maupun pengetahuan batiniah sehingga pada akhirnya kita diharapkan agar beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.

Ayat tersebut dapat juga ditafsirkan bahwa kita diperintahkan oleh Allah untuk memegang teguh suri tauladan Rasulullah Saw dan empat sahabat dalam kehidupan lahir maupun batin.

Perintah untuk memegang gunung atau kepala dengan kuat, juga mempunyai arti bahwa, manusia harus dapat mempergunakan potensi yang ada di kepala yaitu akal dan panca indera, untuk beraktifitas dalam kehidupannya, terutama dalam kehidupan agamanya untuk mengenal rohaninya sekaligus mengenal Tuhannya.

Kemudian arti lain dari kalimat “memegang gunung” adalah manusia diharuskan untuk menutup “tujuh pintu hawa nafsu” yang terdapat di kepala yaitu :

2 lubang atau pintu mata
2 lubang atau pintu telinga
2 lubang atau pintu hidung
1 lubang atau pintu mulut

Cara menutup Tujuh Pintu tersebut, dengan mempergunakan “alat” yang telah diberikan oleh Allah kepada setiap manusia, sesuai firman Allah :

“Carilah Akhirat dengan “Alat” yang telah Kami anugerahkan kepadamu dan janganlah kamu lupakan kenikmatan dunia”. (QS Al Qashash 28 : 77)

“Tatkala aku berada disisi Rasulullah Saw, tiba-tiba beliau bertanya : Adakah orang asing diantara kamu? “Lantas beliau memerintahkan supaya pintu ditutup dan bersabda : Angkat tangan kamu” (HR Al Hakim)

“Tutup pintumu dan ingatlah Allah ”. (HR Bukhari)

“Tutuplah semua pintu masjid ini kecuali pintu Abu Bakar”. (HR Bukhari)

Prosesi menutup tujuh pintu inderawi yang ada pada kepala manusia, inilah yang dinamakan dengan “Takbiratul Ihram”, (Takbir Larangan) yang mempunyai arti bahwa ketika kita mengangkat kedua telapak tangan kita saat mengawali shalat, kita diharamkan atau dilarang untuk melakukan aktifitas inderawi seperti mendengar, melihat mencium dan berbicara, karena kita sedang berhadapan dengan Allah Swt (bertawajuh). Hal ini sesuai dengan firman-Nya :

“Sesungguhnya aku menghadapkan wajah-ku kepada Wajah-Nya yang menciptakan langit dan bumi dengan hanif dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah”. (QS Al An’am 6 : 79)

Perintah untuk mengingat apa yang terdapat dalam Gunung atau kepala manusia, dapat diartikan bahwa manusia harus terus mengingat atau mengolah dan memgembangkan apa yang terdapat dalam kepala manusia berupa ilmu pengetahuan yang merupakan hasil dari kesatuan olah fikir, oleh dzikir dan olah raga.

Makna lainnya adalah bahwa setelah manusia telah berhasil menutup tujuh pintu hawa nafsunya atau melakukan gerakan “Takbiratul Ihram”, maka ia akan mengalami proses mati dalam hidup dan pada saat itulah indera rohaninya akan hidup dan menyaksikan “Cahaya Allah” yang tampak di dalam “gunung” atau kepalanya, sehingga gunung tersebut hancur lebur, dengan kata lain, bahwa ketika ketujuh pintu hawa nafsu tertutup, maka hawa nafsu secara berangsur-angsur menghilang, yang tinggal hanya jasmani dan pusat kesadaran yang terletak pada qalbu (otak). Kemudian ketika muncul “Cahaya Kilat” atau Nur Allah yang menyambar di dalam kepala dan terpantau oleh indera rohani, pusat kesadaran serta jasmani, maka semuanya itu menjadi hancur atau lenyap secara berangsur-angsur, yang tersisa hanyalah rasa sejati yang “Layu khayafu” dan “Laisa kamislihi syai’un”. Keadaan inilah yang disebut dengan “Mati Syahid” (Mati Saksi).

Peristiwa “Mati Syahid” hanya dapat tercapai ketika fungsi-fungsi inderawi telah mati dan saat kematian fungsi inderawi itulah kita menyaksikan Cahaya Allah yang tajalli dipusat mata batin kita, sehingga kita telah melupakan peristiwa yang terjadi disekitar kita, dan saat itulah terjadi penyerahan diri secara total kepada Allah.

“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah semata”.

Cahaya Allah yang disaksikan dan dirasakan pada waktu “Mati Syahid” akan terekam dalam pusat kesadaran rohaninya dan harus diingat sebanyak-banyaknya, baik ketika sedang berjalan, duduk maupun berbaring.

“Cahaya Allah itu ada dalam rumah yang Allah beri izin untuk memuliakan dan mengingat-Nya pada waktu pagi dan waktu petang”. (QS An Nuur 24 : 36)

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapt tanda-tanda bagi golongan ulil albab, yaituorang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi(seraya berkata) : “ Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-si, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa An Nar”. (QS Ali Imran 3 190-191)

“ Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkat gunung Thur Sina di atasmu (seraya Kami berfirman) : Peganglah dengan kuat apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya (Cahaya Allah) agar kamu bertakwa”. (QS Al Baqarah 2 : 63)

Demikianlah arti simbolis dari ayat-ayat yang berkaitan dengan proses mati syahid untuk mendapatkan pengalaman menemui Tuhannya di Gunung Thur Sin Yang Bercahaya.
(Written by : Kuswanto Abu Irsyad)

Rabu, 20 Oktober 2010

Berjihad Dalam Kemakrifatan

Setiap orang yang menempuh perjalanan rohani, akan mendapatkan banyak halangan yang biasanya akan mengakibatkan kejenuhan bahkan merasa putus asa. Hal ini biasanya terjadi karena pada saat pertama kali bertemu dengan Allah melalui proses pengangkatan oleh Guru Mursyidnya, mereka tidak mendapatkan pengalaman Rohani yang maksimal. Atau dengan kata lain, mereka dalam pengalaman mi’raj-mi’rajnya tidak menemukan apa-apa dari penyaksiannya. Sehingga dari pengalamannya itu, mereka tidak memberikan penghargaan yang pantas kepada Allah. Akibatnya, mereka dalam melaksanakan perjalanan mi’rajnya hanyalah bersifat ritual semata, tanpa diimbangi dengan perasaan, penghayatan, perenungan dan kotemplasi terhadap pengalaman pribadinya. Hal ini telah diinformasikan oleh Allah dalam Al Qur’an yaitu :

“Dan mereka tak menghargai Allah dengan penghargaan yang pantas diberikan kepada-Nya, tatkala mereka berkata : Allah tidak menurunkan apa-apa kepada manusia . Katakan : Siapakah yang menurunkan Kitab yang dibawa oleh Musa, yaitu NUR dan PETUNJUK bagi manusia, yang kamu buat menjadi lembaran-lembaran (yang berhamburan), yang kamu perlihatkan dan yang kebanyakan kamu sembunyikan? Dan kamu diajarkan tentang apa yang kamu dan orang tua kamu tidak tahu . Katakanlah : Allah. Lalu biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya”. (QS Al An’am 6 : 91)

Ayat tersebut diatas menjelaskan tentang mereka yang baru menempuh jalan rohani (baru melalui prosesi pengangkatan yang pertama kalinya) namun tidak mendapatkan pengalaman penyaksian yang maksimal. Maka mereka berkata : “ Allah tidak menurunkan apa-apa kepada manusia “. Mereka mengatakan yang demikian bukan karena Allah tidak menurunkan apa-apa tetapi karena mereka belum menemukan “rasa pertemuan” dengan Dzat Yang Maha Suci, Allah SWT.

Mereka pantas berkata demikian, tetapi “ Dirinya yang paling dalam berujar “ : Siapakah yang menurunkan Kitab yang dibawa oleh Musa ( Guru Musryid yang mengantarkan dirinya kepada Pencerahan – Pengangkatan ) yaitu NUR dan PETUNJUK bagi manusia, yang kamu buat menjadi lembaran-lembaran?. Karena pengalaman mi’raj itu sulit untuk diungkapkan, maka dibuatlah oleh mereka (para kaum ma’rifatullah) dalam bentuk ungkapan-ungkapan tertulis berupa syair-syair, puisi-puisi, atau kisah-kisah dan yang kebanyakan kamu sembunyikan ( dibuat dalam bentuk perumpamaan ayat-ayat mutasyabihat ). Dan kamu diajarkan tentang apa yang kamu dan orang tua kamu tidak tahu. Dengan NUR ( Nurul Iman ) itu mereka memperoleh petunjuk untuk membimbing dirinya dalam menghadapi berbagai permasalahan kehidupan ini.

Katakanlah : “Allah” Dialah yang menurunkan kepahaman itu kepada mereka. Dengan kepahaman itu mereka merasa “plong” menghadapi permasalahan yang berat sekalipun. Mereka mengetahui cara mensikapi permasalahan dengan sewajarnya. Lalu biarkanlah mereka yang ragu-ragu tentang apa yang sudah diturunkan oleh Allah kepada dirinya dalam kesesatan. Bagi mereka yang telah memperoleh Cahaya Keimanan, hendaknya tidak terlalu risau dengan kegelisahan saudara-saudara seimannya yang masih menggerutu denagn pengalamannya, karena mereka belum menemukan keindahan dan keyakinan yang mantap dari mi’raj-mi’rajnya.

Memang sangat banyak faktor yang dapat menghambat evolusi jiwa/ruhani kita dalam pencapaian tingkat yang lebih sempurna. Agar di dalam menghadap menuju Sang Sumber penuh dengan kepasrahan untuk menyatu ke dalam relung-relung keabadian. Faktor penghambat itu antara lain adalah gambaran, khayalan, lamunan atau anggapan-anggapan yang merintangi dan menghalangi atau mengganggu diri kita dalam mencapai derajat tinggi disisiNya. Haruslah segala ringtangan itu dibuang jauh-jauh, harus disingkirkan. Segala emosi yang melekat pada diri kita disaat berinteraksi dengan keduniaan, hapuslah semuanya. Supaya jiwa kita dan semangat kita berkembang dengan teguh serta bebas sehingga dapat memantapkan kepercayaan kepada diri pribadi kita sebagaimana yang telah kita saksikan di alam Cahaya Ilahi.

Adapun yang sering menimbulkan halangan itu adalah berasal dari diri sendiri, yaitu perasaan kita yang sering merasa kecewa, marah, ragu, merasa rendah, dhaif, merasa bodoh, bimbang, khawatir, suka, duka dan gembira yang selalu mudah untuk dikuasai oleh emosi kita.

Hal ini merintangi diri kita dalam penyaksian terhadap Nur Ilahi yang sangat jauh dari cacat dan kekurangan sedikitpun. Buanglah jauh-jauh pikiran yang menganggap remeh apa yang telah kita saksikan, memang setiap individu berbeda-beda kadar penyaksiannya, tetapi bagi kita yang belum mencapai tingkat penyaksian yang sempurna atau sedikitnya tawhid (menyatu) terhadap Cahaya yang kita saksikan untuk memasuki lorong Nurun Ala Nurin dalam gilang-gemilang kemegahan CahayaNya, jangan lantas berpikir Cahaya yang ada di dalam diri kita itu kalah dengan Cahaya yang ada di luar. Itu adalah suatu hal yang amat buruk dan keburukannya (akibatnya) akan menimpa dirinya sendiri.

Berusahalah dengan kesungguhan yang mantap memperkuat karep (tekad) kita dalam mengikuti kehendak Tuhan, dengan tuntunan kitab yang ada dalam diri pribadi kita masing-masing. Muliakanlah, Agungkanlah, sanjunglah dan hormatilah sebagai barang yang amat berharga yang ada pada diri pribadi kita. Tebalkanlah keyakinan kita dan sentausakanlah Iman kita serta pergunakan kejujuran hati kita untuk menghindari perbuatan yang sesat yaitu : kebohongan. Usahakanlah agar kita selalu ingat dan waspada, bijaksana dan selalu berbuat kebajikan. Perhatikan hasil dan keuntungan yang keluar dari prosesnya pikiran pribadi yang baik, disertai dengan laku yang benar. Berdasarkan pada kesopanan dan kesantunan serta kejujuran, menggunakan pikiran yang tajam, jernih dan merdeka.

Singkirkanlah sifat-sifat yang buruk, yaitu menuruti hawa nafsu yang rendah dan juga hilangkanlah sifat-sifat yang mementingkan diri sendiri serta pandangan yang keliru dan picik. Bertindaklah untuk mengikuti jalan utama. Sempurnakanlah dalam memelihara keimanan yang teguh untuk mendekati dan memegang kesempurnaannya. Agar nanti kita tidak akan kekurangan penerangan dalam perjalanan menuju ketentraman dimana kita akan menerima warisan keberkahan yang abadi.

Maka tiada lain bagi kita yang masih baru dalam mengenal dan berusaha akrab dengan diri pribadi kita, haruslah melatih diri dengan pekerti luhur, memberi dorongan kepada tujuan yang semestinya.Beruzlah atau tafakur untuk berusaha membuang (melepaskan) beban sampah dikepala. berkonsentrasi, kemudian mencurahkan segenap cipta ke arah sasaran yang sering kita sebut Wujud Yang Absolut, sebagaimana kita semua saksikan. Hendaklah hal demikian (tafakur) itu dilakukan dengan rutin dan dengan penuh kesungguhan dalam melewati fase-fase untuk mencapai tafakur sempurna yang penuh dengan kenikmatan. Karena telah mampu mengalahkan diri sendiri dari tabiat-tabiatnya kearah negatif (Nafsu rendah) dan membawa ke dalam pimpinan yang telah disinari Nur Muhammad. Sebagaimana yang diterangkan dalam Al Qur’an, bahwa dalam diri setiap manusia ada Nur Muhammad yang harus dijadikan panutan.

“Ketahuilah bahwa pada engkau ada Rasul Allah, Dia dalam banyak urusan selalu mengikuti engkau, tetapi jika engkau tidak mengikuti dia tentulah engkau akan mendapat kesusahan, maka Allah menjadikan engkau Cinta kepada keimanan dan menjadikan Iman suatu hiasan dalam hatimu, dan menjadikan engkau benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Yang demikian itulah orang-orang yang mengikuti Jalan lurus.” (QS. Al Hujarat , 49 ayat 7 )

“Maka berimanlah engkau kepada Allah dan Rasulnya yaitu CAHAYA yang telah kami turunkan, dan Allah maha mengetahui apa yang engkau kerjakan.” (QS. At Taqhabun, 64 ayat 8)

“Orang-orang yang beriman itu hatinya menjadi tentram/senang dikarenakan senantiasa ingat kepada Allah. Ketahuilah, karena selalu ingat kepada Allah, manusia itu pada merasa senang.” (QS. Ar Raad, 13 ayat 28)

Untuk itulah, bagi para penempuh jalan spiritual harus terus-menerus istiqomah memperbaiki diri, meningkatkan kadar pencerahan ruhani kita agar evolusi ruhani kita semakin maju ketingkat/maqam yang lebih baik, dari hari kehari. Sehingga kita tidak mengalami stagnasi/berhenti ditempat atau bahkan mundur dan melupakan amanat yang telah diberikan, yaitu Cahaya yang ada pada diri kita masing-masing.


Ada beberapa cara agar kita terhindar dari stagnasi perkembangan evolusi rohani kita :

a) Kita harus meneliti persiapan saat akan melakukan Mi’raj. Persiapan ini dilakukan mulai seharian. Dimulai dari persiapan puasa khusus, perut di isi 1/3 udara, 1/3 makanan dan 1/3 minuman (Teori Al-Faqir). Kemudian cara tidur dan kegiatan sehari-hari kita yang telah bersesuaian dengan sunatullah. Pada saat akan melaksanakan Mi’raj, kita harus memperhatikan, apakah cara duduk kita, cara memusatkan perhatian atau mengkonsentarasikan pikiran, cara menarik nafas, cara bermi'raj dan cara membuka mata batin kita (memfokuskan mata hati-Tawajuh) atau tauhid Syuhudi. Paling tidak persiapan ini mestinya banyak dilatih dengan tekun dan sabar sebelum melakukan Mi’raj sampai mencapai evolusi ruhani yang stabil / sempurna (Minimal 40 hari berturut-turut secara Istiqomah). Jika belum banyak dilakukan penelitian ke dalam diri, bisa berdiskusi dengan saudara seiman yang sudah tahu. Atau sebelum Mi’raj banyak-banyaklah melakukan penyucian batin sebagai pembersihan dengan membaca Istigfar (gunakan bahasa yang lembut-bahasa Jiwa) sampai pada kondisi jiwa masuk dalam getaran mutmainah (tenang) yang ditandai kekacauan pikiran telah dikendalikan dan mulai dapat berkonsentrasi dengan baik.

b) Jika kondisi Mutmainah telah kita masuki maka secara perlahan-lahan kita mengkonsentarsikan diri. Dalam tahap ini titik-titik rawan yang mungkin muncul adalah cara memfokuskan kepada Cahaya yang kita saksikan masih sering terabaikan. Titik sasaran yang benar adalah berada di “tengah-tengah” (sebaik-baik urusan berada ditengah / tawazun). Bukan dikiri, dikanan, diatas, atau dibawah. Hal ini terjadi karena kurang menekan pandangan lahir atau batin kearah titik konsentarsi.


c) Titik rawan berikutnya setelah Cahaya terfokus adalah kurang menguatkan “pelengan” atau memandang mata batin dengan nanar karena barang kali sudah merasa puas. Perasaan cepat puas dan cepat selesai kurang kondusif untuk cepatnya evolusi ruhani. Sebaliknya perasaan haus ruhani akan semakin menguatkan tekad atau karep (Iradat) kita untuk terus berdisiplin diri dalam kondisi tafakur/Mi’raj yang panjang atau lama. Mungkin juga yang dahalunya banyak “tanaman” atau Implan berupa susuk dan sebagainya yang dimasukan dari luar tubuh ke dalam dirinya, hal ini tidak akan cukup lama/kuat dalam bermi’raj. Hal ini diibaratkan bagaikan air dengan minyak (air = Ruhani, minyak = hawa nafsu / kegelapan) yang kadang kalau ditepuk sejenak (dengan pancaran Cahaya Ilahi) akan berpencar dan kemudian kembali seperti semula. Minyak menutupi air. Sehingga ingin cepat-cepat selesai dan merasa panas dalam menyambut / menerima pancaran Cahaya tadi. Jika hal ini terjadi, kuatkan tekat dan tekun dalam beruzlah karena sesuatu yang mendarah daging akan terkikis habis dengan pola Mi’raj secara intens dan intensif. Jika malas justeru mengembalikan kondisi ruhani masuk dalam perangkap gelap (kufur). Hal ini dapat menghijab diri kita dari pandangan / Cahaya Allah SWT.

d) Titik rawan selanjutnya saat fase Tauhid Syuhudi (Penyaksian keindahan Cahaya Ilahi) atau fase penemuan Cahaya Ilahi. Cahaya pada saat penyaksian (syahadat Tauhid dan Rasul) terkadang memiliki pola-pola yang berbeda-beda (Addien sesuai ukuran kemampuan hambanya). Al Ghazali menamakan sesuai Al Qur’an dalam bukunya Miskat Al Anwar (Cahaya yang berlapis-lapis). Untuk menempatkan Cahaya Ilahi pada pandangan yang tepat, haruslah menemukan inti pancaran Cahaya Ilahi. Inti itu adalah berupa Mutiara Mutu Manikam yang berada tepat ditengah atau berada di dalam Cahaya tersebut (kilauannya paling memancar, berkilau tanpa warna), inilah yang disebut Maqam ISTIQOMAH. Pola ini sering terabaikan oleh si penerima. Karenanya tidak sedikit diantara saudara seiman jika baru beroleh Cahaya tadi, akhirnya merasa bangga yang terkesan berlebihan. Padahal ini baru seseorang memulai beragama dihadapan Allah SWT (Awaluddinni Ma’rifatullah). Jika kondisi ini tidak pernah dicatat pola-pola perubahannya, diteliti dan disadari maka akan terjadi keangkuhan Pribadi (Kesombongan Ruhani) yang sering menutupi kebenaran yang disampaikan oleh saudara seiman.

Mungkin secara garis besar titik-titik rawan itulah yang menyebabkan kegelapan ruhani walaupun masih banyak kendala yang harus diperhatikan dalam menyikapi hal-hal yang dapat menghambat pencerahan. Tetapi dengan modal yang sedikit ini kiranya dapat dijadikan bahan pertimbangan, pemikiran, serta perenungan agar kita selalu Eling (ingat), Sabar dan Waspada terhadap segala sesuatu yang dapat mempengaruhi kedekatan kita pada Allah SWT.


“ Wahai manusia ! Sesungguhnya kamu harus berusaha dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk bertemu dengan Tuhanmu, sampai kamu bertemu dengan-Nya “. ( QS Al Insyqoq 84 : 6 )

“ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Dienullah…..”. (QS Ar-Rum 30 : 30)


MENUJU GEMILANG CAHAYA ILAHI

Bukan mudah meniti langkah ke Angkasa
Bukan mudah mengubah mimpi menjadi asa pasti
Apapun jua bisa terbukti
Andai langkahmu tidak terhenti

Bukan mudah menggapai Bintang Yang Berkilauan
Bukan mudah jalan ini untuk di arungi
Apapun jua bisa terbukti
Andai langkahmu tidak terhenti

Menuju Puncak gemilang Cahaya
Mengukir cinta seindah asa
Menuju puncak impian di hati
Bersatu janji kawan sejati
Pasti berjaya di Alam Nur Ilahi
(Written by: Kuswanto Abu Irsyad)